Kenangan Rewe’ Sipulung 2003: Disambut Pemkab Soppeng dengan Pesta Rakyat

Oleh: A. Hafied A. Gany

Foto hasil dukumentasi (CD), Proceeding Seminar Sehari, dan Piagam Deklarasi Rewe’ Sipulung 2003.
(Foto A. Hafied A. Gany)

 

Di penghujung tahun 1992 saya mendapat inspirasi tentang kegiatan “mudik bersama” dari keluarga tempat indekost saya bersama isteri di Winnipeg, Kanada — Mr. Tranquilino Garma, seorang pensiunan pegawai rendahan bank pemerintah yang tinggal di desa Camiling – Tarlac, di pinggiran utara Kota Manila, Filipina, menjadi “permanent resident” di Kanada, serta menjalani masa-masa pensiunnya di Kota Winnipeg, Provinsi Manitoba, Kanada.

Papa Lino — demikian kami memanggilnya sehari-hari — banyak sekali bercerita kepada saya dan isteri tentang kegiatan “Balik Bayan”, yakni semacam program “Mudik bersama ke kampung halaman” bagi orang Filipina perantauan yang berdomisili di Negara Lain.

Melalui jasa baik Papa Lino, saya sempat mendapatkan keterangan rinci dari komunitas Filipina (yang cukup rapih organisasinya) di Winnipeg tentang kiat-kiat program Balik Bayan, yang akhirnya membuat saya terobsesi untuk melakukan hal yang serupa kelak setelah kembali ke Tanah Air.

——-

Beberapa bulan setelah saya dialihtugaskan ke Bandung (awal tahn 2000) sebagai Kepala Pusat Libang Sumber Daya Air Departemen P.U., saya sangat surprise mengetahui dari adik saya — yang kebetulan dipercaya warga sebagai Ketua Kerukunan Keluarga Sulawei Selatan, KKSS Cabang Bandung) — bahwa cukup banyak Warga Soppeng berdomisili dan bekerja di Bandung, bahkan kebanyakan masih keluarga dekat (cohort – sepermainan) di masa kanak-kanak.

Kami langsung saja bergabung mengikuti acara-acara kekeluargaan rutin bersama mereka, dengan segala suasana yang semakin menjadi sangat akrab, bahkan terasa tidak ada jarak lagi antara kami semua bersama keluarga, sekalipun ada beberapa di antaranya yang beristerikan atau bersuamikan suku lain. Bahkan banyak di antaranya bersama anak-anak belum pernah mengunjugi kampung leluhur suami, isteri atau orang tuanya.

Di sekitar awal tahun 2002, pada kesempatan rekreasi bersama dengan segenap warga Soppeng perantauan bersama keluarganya di Kampung Citengah, Kabupaten Sumedang, kami bersama beberapa warga melontarkan gagasan “Rewe’ Sipulung” (mudik bersama – Bugis). Di luar dugaan saya, rupanya teman-teman semuanya sudah lama juga memendam obsesi yang sama, namun belum pernah terungkap sebelumnya, sehingga spontan saja, bagai gayung bersambut, gagasan tersebut ditanggapi dengan antusias, dan pada saat itu juga sepakat membentuk panitia persiapan dengan program kerja satu tahun ke depan.

Melalui entusiasme dan kesepakatan bulat para anggota, hanya dengan beberapa kali rapat berikutnya, ditambah dengan hubungan komunikasi e-mail dan fax yang intensif dengan Pemerintah Kabupaten Soppeng, berhasil disusun program kerja rinci bekerja sama dengan Panitia Pelaksana Setempat (Daerah Soppeng) yang secara khusus dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten Soppeng.

Pengumpulan dana yang merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan program, dilakukan dengan membuka “tabungan bersama” di mana setiap anggota sepakat untuk mengisi tabungan kolektif tersebut atas nama masing-masing dengan target storan harus memenuhi jumlah plafon biaya perkiraan selama setahun menabung. Untuk menetapkan waktu yang memungkinkan warga berangkat bersama keluarga, para warga juga sepakat mengatur dengan instansi kerjanya masing-masing untuk melakukan cuti bersama yang ditetapkan bertepatan dengan liburan sekolah anak-anak — paling lambat enam bulan sebelum hari H-nya.

Melalui koordinasi dengan Pemerintah Kabupaten Soppeng lebih lanjut, disepakati untuk mengadakan, diskusi panel, dan seminar sehari untuk membahas permasalah aktual pembangunan Kabupaten Soppeng dengan thema: “Perspektif Pengembangan Kabupaten Soppeng dalam Rangka Mewujudkan Pelaksanaan Otonomi Daerah”, dengan pemakalah kunci oleh Rektor UNHAS waktu itu, 10 Pembicara lintas sektoral dari Warga Bandung sendiri, dan Pembahas Utama oleh Rektor salah satu Universitas swasta dari Sumatra Barat yang kebetulan masih anggota warga Soppeng sejak beliau menempuh studi S3-nya di Bandung.

Hari demi hari berlalu dengan sangat cepat, sehingga tidak terasa hari H-nya semakin dekat, dan pada mingu-minggu terakhir, melalui semacam gladi bersih, kami mengevaluasi bahwa semua program sudah siap dan dengan pengaturan yang cukup rapih dan sistematis. Begitu bersemangatnya segenap warga, tanpa terasa, semua rangkaian acara sudah siap dilaksanakan (acara, logistik, pakaian seragam, transportasi, penginapan, peralatan dan penyiapan proceeding, kesiapan pembicara, serta rangkaian wisata napak tilas/nostalgia), semua sudah dikonfirmasi kesiapannya dengan Panitia Lokal Kabupaten Soppeng.

——

Jam dua dini hari, tanggal 29 Juni 2003 para peserta bersama anggota keluarganya (49 orang) berangkat dengan bus carteran dari Lapangan Persib Bandung, menuju Bandara Soekarno Hatta untuk check-in pesawat Lion Air yang berangkat dari Jakarta pukul 07:00 pagi. Bermaksud untuk tidur-tiduran di bus, masing-masing sudah menyiapkan diri bersantai merebahkan sandaran kursi, namun apa hendak dikata, hampir semua warga merasakan ketegangan, was-was, dan rasa gembira akan bertemu dengan kampung halaman tecinta – apalagi (isteri dan anak-anak) warga yang belum pernah melihat Soppeng sebelumnya, hampir tidak pernah tidur, meskipun sudah berusaha memicingkan mata, namun pikiran terus menerawang ke mana-mana dengan hati yang bersebar-debar laksana pengantin baru menunggu malam pertamanya.

Pukul 04:30 pagi rombongan sampai di Bandara Soekarno Hatta, langsung berhamburan mencari WC/kamar mandi untuk bersih-bersih, berdandan ala kadarnya serta mengganti busana dengan pakaian seragam “Rewe Sipulung 2003”. Rupanya kami semua merasakan dilanda hal yang sama terutama ketidaksabaran menunggu waktu yang terasa sangat lambat jalannya, sampai-sampai penerbangan dua jam berikutnya serasa berhari-hari dijalani.

Tepat pukul 10:00 pagi waktu Makassar, pesawat Lion Air yang penuh yang kami tumpangi dengan tempat duduk yang semuanya penuh, mendarat dengan mulus dan bergerak mantap menuju terminal pemberhentiannya. Hal ini-pun terasa berjalan sangat lambat karena kami serasa sudah cepat-cepat mau menginjakkan kaki di Bandara Hasanuddin yang kami semua rindukan.

Rombongan Rewe’ Sipulung 2003 berfoto bersama setiba di Bandara Hasanuddin (Foto Istimewa)

Begitu memasuki terminal kedatangan, kami disambut dengan pengalungan bunga dan upacara adat segala, sampai-sampai kami merasa risih ditonton orang banyak, dengan antrian yang terpaksa terhenti sejenak sampai upacara penyambutan selesai – laksana menyambut petinggi saja. Kami semua langsung diminta naik ke mobil jemputan yang disediakan Pekab Soppeng, dan langsung berangkat setelah yakin bahwa bagasi kami akan diurus dan daiantarkan ke Soppeng oleh petugas penjemput.

Dalam perjalanan menuju Soppeng via PekkaE-Bulu Dua, kami dijamu makan siang di Warung ikan bakar dan sop saudara di Pangkajenne, yang lebih membuat kami perlahan beradaptasi kembali dengan makanan kesenangan, yang meskipun bisa kami dapati di Bandung atau di Jakarta, tapi yang satu ini terasa sulit dibandingkan citarasanya apalagi kenikmatan nostalgianya. Begitu lahapnya makan, mungkin juga karena di pesawat hanya diberi jatah air minum kemasan segelas, hampir semua peserta minta menambah ikan bandang bakar (semua minta tengahnya), sehingga tiga warung makan yang berdampingan kewalahan melayani rombongan beserta penjemput dengan jumlah sekitar tujuh puluh lima orang yang tiba-tiba saja mampir ke warung tersebut berombongan, dan semua berebut tidak sabar mau cepat-cepat dilayani.

Seselesai bersantap siang, rombongan kami yang tiba-tiba saja menjadi pendiam, kekenyangan dan mengantuk meruskan perjalanan. Matahari menjelang matahari condong ke ufuk barat ketika bus kami memasuki perbatasan Kabupaten Soppeng. Spontan kami secara naluri sudah menangkap aura kesejukan kampung halaman. Namun kami sedikit terusik karena hampir semua orang yang ada di sepanjang jalan menjadi tersita perhatiannya dengan kedatangan rombongan kami yang sejak bertolak dari Bandara Hasanuddin didahului “foorider” dari satuan polisi pamongpraja Kabupaten Soppeng dengan raungan sirine-nya, yang terus terang malahan menjadikan kami semakin risih. Maklum sebagai “pemudik biasa” yang tiba-tiba merasa sebagai petinggi. Kami dengan upacara protokoler tersebut diantar langsung ke rumah kediaman Wakil Bupati, yang sengaja menunggu kami untuk santap sore (seperti kebiasaan orang-orang Soppeng umumnya) sebelum berpisah untuk kembali menginap ke rumah keluarga masing-masing.

———

Mengikuti jadwal acara yang sangat ketat, pukul 7.00 pagi kami sudah dijemput untuk santap pagi di rumah jabatan Bupati Soppeng, sambil beramah tamah. Pada hari-hari berikutnya, kami semua tenggelam protokoler bahwa acara santap pagi, siang, dan malam dilakukan bergiliran di rumah keluarga masing-masing warga, yang ternyata semua berebut ingin kebagian kesempatan untuk menjamu rombongan kami dengan segala penganan khusus ala “Bugis Soppeng”. Kami semua dengan tiba-tiba menikmati kebiasaan bersantap pagi, siang, dan malam ala Bugis, yang jujur belum perna merasakannya sepanjang hidup kami, seolah berpesta selama sepuluh hari sepuluh malam selama kami berkunjung tersebut.

Pada tanggal 30 Juni 2003, pagi-pagi sekali Bupati bersama staf menerima kami secara resmi di aula Kantor Kabupaten, sambil bersilaturrakhmi serta mempersiapkan ruangan dan segala peralatannya untuk penyelenggaraan Seminar Sehari pada keesokan harinya tanggal 01 Juli 2007. Kami menitipkan semua bahan-bahan tayangan dan proceeding seminar – yang kami siapkan dari Bandung hampir delapan bulan lamanya.

Seminar sehari berlangsung di Aula Pemkab Soppeng dari pk 09 sampai pk 18:00 waktu setempat (Foto Istimewa)

Penyelenggaraan seminar berlangsung dengan sukses tanggal 01 Juli 2003, sehari penuh dengan dihadiri sekitar 150 orang, 10 pembicara lintas sektor warga Soppeng dari Bandung, pembicara kunci oleh Retor Universitas Hasanuddi, dan pembicara penyimpul oleh rektor salah satu universitas swasta dari Sumatra Barat, yang juga kebetulan warga Soppeng perantauan.

Seminar berhasil menelorkan “Deklarasi Rewe’ Sipulung 2003” yang ditindaklanjuti tahun berikutnya dengan ramah tamah warga Soppeng perantauan di kawasan Jabodetabek dan Bandung bertempat di Anjungan Sulsel TMII. Acara diselenggarakan dengan mengundang Bupati Soppeng berikut staf inti terkait. Beberapa klosul deklarasi masih terus ditindaklanjuti, namun belakangan agak tersendat dengan kesibukan persiapan penyelenggaraan “pilkada” yang akhirnya melahirkan pergantian pimpinan kabupaten. Namun demikian, konsep-konsep pembangunan Kabupaten Soppeng cukup jelas tertuang dalam proceeding seminar yang dapat diteruskan oleh siapapun yang duduk dalam pemerintahan terpilih berikutnya.

———

Satu minggu berikutnya, kami memanfaatkan kesempatan untuk mengunjungi semua obyek wisata yang ada di Kabupaten Soppeng antara lain: (1) Wisata alam pegunungan di Desa Carawali Mattabulu; (2) Wisata air di Danau Tempe, Batu-batu; (3) Wisata industri sutra dan pertenunannya di Tajjuncu; (3) Wisata Budaya, Bola SeratuE (rumah bertiang seratus) atau Sao Mario, (4) Wisata Purbakala di JeraE dan musium Calio; (5) Wisata Air Panas di Lejja; (6) Agro Wisata di beberapa tempat; dan ArajangngE di Sewo. Namun, yang paling menarik adalah pelaksanaan Pesta Rakyat di Desa Citta – yang hampir semua peserta Rewe’ Sipulung 2003 belum pernah menyaksikannya seumur hidup, kecuali mendengan ceritera orang tua.

Pesta Rakyat di Desa Citta (salah satu obyek wisata budaya yang terbilang sangat unik di Kabupaten Soppeng), namun sudah hampir sepuluh tahun terakhir tidak pernah lagi diselenggarakan, meskipun rakyat setempat sebenarnya masih tetap mengobsesikan hal tersebut. Mendengar rencana kedatangan rombongan Rewe’ Sipulung, dari Bandung, masyarakat Citta mendesak Bupatinya untuk mengambil momentum kedatangan kami menghidupkan kembali “Budaya Pesta Rakyat” yang terhenti hampir satu dekade belakangan. Padahal dulunya selalu menjadi acara rutin tahunan setiap habis panen.

Upacara ritual “Maggere Tedong” dengan segala prosesi dan mantera-mantera tertentu (Foto A. Hafied A. Gany)

Rangkaian prosesi Pesta Rakyat di Citta – yang disaksikan sekitar lima enam ratusan orang – terdiri dari berbagai kegiatan, antara lain: (1) Acara ritual penyambutan dan tari penyampaian rasa syukur dan terimakasih kepada Tuhan YME atas rakhmat dan perlindunganNYA kepada segenap warga – ini antara lain terdiri dari rangkain tari-tarian dan acara “mabbiessu”; (2) Ritual “maggere tedong”, yakni pemotongan khewan kurban (kerbau) dengan segala rangkaian ritual, memendikan (mensucikan), pembacaan mantera-mantera penolak bala tertentu, dan upacara pemotongan; pensucian dan pemandian kepala kerbau pada aliran mata air yang jernih, dan sebagainya oleh tua-tua adat masyarakat setempat – serta peramuan masakan daging kerbau untuk dinikmati bersama peserta Pesta Rakyat. Mengagumkan sekali, hanya dalam bilangan dua jam, masakan daging kerbau tersaji untuk dinikmati.

Berbagai acara ritual atau permainan lainnya antara lain: Mappadendang, Mappabitte manuk; Mattojang; Maggenrang, Mabbacing pacing; Maddaga; disertai iringan berbagai tari-tarian yang sudah sangat jarang dijumpai saat ini. Namun dari rangkaian acara ritual yang disajikan, yang sangat mengesankan bagi saya adalah acara Mattojang dan Maggere Tedong, yang terus terang baru pertama kali saya saksikan, dan selama ini hanya mendengar ceritera-ceritera nenek-nenek pendahulu kami yang telah tiada.

Permainan mattojang dilakukan oleh seorang anak perempuan remaja belia (Foto A. Hafied A. Gany)

Permainan mattojang, atau berayun, dilakukan dengan memancang batang kayu (umumnya kayu kapuk) berdiameter pangkal sekitar 30 cm, dengan panjang lebih dari 12 meter, ditanam berbentuk segi tiga, di mana ujung atasnya diikat menjadi satu sebagai titik atas gantungan ayunan. Ayunan berbentuk kotak pelana (criddle) dengan panjang gantungan ayunan sekitar 10 m dari semacam tali yang dibuat dari kulit kerbau (larik – Bugis). Orang yang akan bermain ayunan (umumnya gadis-gadis remaja tanggung), terlebih dahulu didandani dengan pakaian adat yang serba cerah warnanya, lalu dibacakan mantera-mantera oleh tetua adat yang kompeten, lalu dinaikkan ke kotak pelana dengan kedua kaki tergantung sekitar 70 cm dari permukaan tanah. Penarikan dan pendorong ayunan dilakukan oleh dua pasang lelaki yang berbadan kekar secara lari sambil menarik bergantian dengan menggunakan tali besar sampai pelana dudukan mencapai ketinggian ayunan sekitar tujuh meter dari permukaan tanah berayun bolak balik sampai hitungan sekitar 20 kali berayun-ayun.

Di samping konstrksinya yang harus kokoh, saya juga kagum dengan penggunaan larik kulit kerbau, yang konon sangat kuat dan belum pernah ada kejadian selama ini di mana tali kulit kerbau terebut putus, meskipun dibebani dengan muatan berat sekali-pun. Lebih dari itu, bermain ayunannya sendiri memerlukan nyali besar, karena kalau tidak tenang, bisa terjadi terlempar atau tergeser ke tiang kiri kanan. Konon permainan ini bermanfaat untuk memberikan kegembiraan dan keceriaan hati tertentu, meningkatkan keberanian serta menjauhkan diri dari gangguan pikiran maupun non fisik atau buatan manusia yang bermaksud jahat kepada kita.

Apapun makna fisik atau spiritual di balik acara ritual yang menjadi rangkaian prosesi Pesta Rakyat di Citta ini, yang jelas bahwa saya tidak mempunyai kapasitas untuk mengulasnya secara logika sekuler. Bagi saya, maknanya mengadung hikmah simbolis kehidupan perdesaan tradisional yang tenang lahir bathin dan dengan segala kesyahduan dan kegembiraan bermain dan pada gilirannya menyatu dengan penuh keikhlasan, kesejahteraan dan kegembiraan bathin.

———

Kini, tidak terasa empat tahun telah berlalu, saya belakangan ini banyak didesak olah teman-teman untuk melakukan lagi kegiatan “Rewe Sipulung”, naum rasanya semakin sulit memprakarsai kegiatan seperti ini, yang ternyata tidak sederhana seperti kebersahajaan nama aslinya dari Bahasa Tagalog, Filipina Perantauan (Balik Bayan).

Baru-baru ini mencoba bernostalgia dengan bekumpul bersama di Bandung menyaksikan tayangan ulang rekaman acara “Rewe Sipulung 2003”. Banyak diantara kami yang meneteskan air mata menghayati nostalgia ini dan hanya mampu menggumam pelan seperti tidak percaya pada kenyataan yang telah lama berlalu: “Kok bisa yah kita melaksanakannya?” Akankah kenangan indah ini bisa berulang kembali dalam wujud nyata? Barangkali saja generasi penerus kami semua ikut terobsesi dengan segala nostalgia yang dirasakan orang tuanya. Yang jelas bahwa mereka semua hanya punya perpanjangan hubungan DNA dengan orang tuanya yang kini telah menjadi “Warga Soppeng” perantauan.

Dengan segala kegembiraan dan kenikmatan lahir maupun bathin yang kami nikmati dalam rangkaian “Rewe Sipulung 2003” ini, lebih dari itu, kami sangat banyak memperoleh pembelajaran baru yang meskipun kami lahir dan dibesarkan di Watan Soppeng, tapi sejujurnya ternyata masih sangat banyak ha-hal yang baru kami temui dan kunjungi di kampung halaman kami sendiri, yang ternyata merupakan kekayaan alam dan budaya yang tidak kalah potensinya dengan daerah-daerah lain di Tanah Air kita.

Di balik hal tersebut, yang sangat menggembirakan, bahwa kami sebagai warga Soppeng perantauan yang sudah puluhan tahun merantau, bak anak yang nyaris hilang, ternyata masih merasa beruntung berkesempatan menyambung silaturrakhmi sambil bersama-sama (dari berbagai disiplin berbeda) membagi empati dan kepedulian untuk turut menyumbangkan secercah wacana pembangunan di Era Otom ini, sekalipun hanya dalam wujud “Pola Umum” (yang kami rujuk dari pengalaman berkarir di daerah lain).

Kami yakin bahwa wawasan yang terbatas ini pasti bisa diimplementasikan oleh siapapun yang sedang memegang estafet pemerintahan di daerah ini, pada saatnya kelak bila suasana sudah cukup kondusif – dengan penyesuaian kondisi dinamis yang berkembang. Setidaknya bak seteguk air untuk membasahi kerongkongan di tengah terpaan dahaga.

Jakarta, 17 Agustus 2007

Powered by ScribeFire.

4 Responses to Kenangan Rewe’ Sipulung 2003: Disambut Pemkab Soppeng dengan Pesta Rakyat

  1. KKSS Bali says:

    Kami terharu membaca tulisan Bapak, sekirannya memungkinkan kami mohon copy CD yang Bapak miliki untuk berbagi dengan kami warga perantauan Sulawesi Selatan khususnya dari Soppeng yang berkedudukan di Bali. Bila tidak keberatan dapat dikirimkan melalui Sekretariat KKSS Provinsi Bali Jl. Nuansa Hijau Utama XXVI No. 15 Green Kori, Ubung Kaja, Denpasar 80116, Bali.
    Kami juga bermaksud mengetuktularkan pengalaman ini melalui http://www.soppengkab.go.id

    Terimakasih

  2. adi says:

    tolong dong segala pesta adat di pelosok agar di muat biar kita2 yang jauh2 bisa aksess
    husussnya pesa adat di kajuara kec.mario riayawa kab soppengh

  3. I got this web site from my buddy who shared with me regarding this website and now this time
    I am visiting this website and reading very informative articles or reviews here.

  4. Everything is very open with a clear description of the challenges.
    It was definitely informative. Your site is useful. Thank you for sharing!

Leave a comment